Allah Adalah Satu-Satunya Tujuan Hidup

Satu prinsip dasar bagi seseorang yang akan menempuh perjalanan menuju Allah Swt. adalah meyakini bahwa, Allahu maqsuudul kul (Allah adalah tujuan dari segalanya). Ungkapan, ‘Allah tujuan segalanya’ adalah pondasi utama dalam perjalanan menuju Allah. Ketika kita bertanya, “apa maksud dari semua ini?”, maka para Mursyid (pembimbing jalan menuju Allah) dan Syaikh (guru) akan berkata, “Allah”. Dari jawaban itu, sepintas kita mengetahui maksudnya, namun kita belum memahami secara detail.

Ketika para syaikh menjawab pertanyaan kita, sungguh mereka sedang tenggelam di dalam Allah (baca: dzikir mengingat Allah). Ini adalah suatu kondisi yang dialami oleh syaikh-syaikh besar. Oleh karena itu, mereka sering mengatakan, “Allah maqsudul kul” (Allah adalah tujuan dari segalanya), maksudnya bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh para syaikh dan kekasih-kekasih Allah adalah Allah Swt.

Para ulama kemudian menyebut pendidikan dan usaha untuk mencapai Allah dengan istilah ‘jalan’. Jadi seolah-olah Allah berada di akhir perjalanan, dan ‘jalan’ ini berada di posisi antara Tuhan dengan manusia. Mereka menamakannya dengan ‘jalan’ karena mereka berfikir bahwa inilah penyerupaan yang paling mudah untuk menggambarkan tanda-tanda makrifat dan perasaan yang dialami selama proses ini. Lalu ‘jalan’ ini mereka namakan dengan At-Thariq Ila Allah (Jalan Menuju Allah).

Syaikh Ali Jum’ah, At-Thariq ila Allah

Segala Pujian Dan Kekuasaan Hanya Milik Allah Swt (Tafsir Surah Al-Faatihah Ayat 1-4)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (١)الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣)مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai di hari Pembalasan. (QS. Al-Faatihah: 1-4)

Dengan surat Al-Fatihah ayat satu sampai empat di atas, Allah ingin mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya bagaimana cara memuji dan mengagungkan Allah Swt. Allah memerintahkan kepada mereka dengan firman-Nya, katakanlah ‘الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ’ yang mengandung pujian yang bagus yang hanya dimiliki oleh Dzat yang Mahaagung dan Mahamulia. Tidak ada selain-Nya yang berhak untuk menyandang pujian bagus ini. Karena pada hakikatnya tidak ada pemberi rezeki dan penyebab kenikmatan kecuali Allah Swt.

Allah berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, Maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. An-Nahl: 53).

Semua pujian hanya milik Allah swt. Allah Swt telah tepuji sejak zaman azali, zaman ketika belum ada makhluk. Dan ketika Allah telah menciptakan makhluk, Ia memerintahkan mereka agar memuji-Nya dengan pujian yang telah ada sejak zaman azali, yaitu, الْحَمْدُ لِلَّهِ

Hanya Allah yang berhak menyandang pujian ini, karena Ia adalah رَبِّ الْعَالَمِينَ . Seolah-olah seseorang bertanya kepada Allah, “mengapa hanya Engkau yang memiliki pujian yang bagus itu?”, Allah berkata, “karena Aku adalah Tuhan semesta alam. Aku mewujudkan alam semesta dengan rahmat-Ku, Aku melimpahkan rezeki kepada seluruh makhluk dengan kenikmatan-Ku, tidak ada sang pemberi nikmat kecuali Aku, sehingga hanya Aku yang berhak memiliki pujian itu. Seluruh alam semesta dan segala macam isinya berada dalam kekuasaan dan pengawasan-Ku”.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah Swt. menciptakan 18.000 alam, setengahnya berada di darat, sementara setengah yang lain berada di laut. Imam Fakhrur Razi berkata, “diriwayatkan bahwa jumlah seluruh manusia 1/10 (sepersepuluh) dari jumlah jin, jumlah keseluruhan jin dan manusia 1/10 nya jumlah binatang darat, dan keseluruhan manusia, jin, dan binatang darat adalah 1/10 dari jumlah burung. Lalu jumlah semua manusia, jin, binatang darat, dan burung adalah 1/10 dari jumlah binatang laut. Jumlah kesemuanya itu 1/10 dari jumlah malaikat-malaikat penjaga manusia yang ada di bumi, seluruh malaikat-malaikat bumi berjumlah 1/10 dari jumlah malaikat-malaikat yang berada di langit yang pertama, jumlah malaikat yang ada di langit pertama 1/10 dari jumlah malaikat yang berada di langit kedua, kemudian begitu seterusnya sampai langit yang ketujuh. Lalu jumlah seluruh malaikat yang ada di semua langit dan yang ada di bumi adalah sangat sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah malaikat yang memikul Kursi, lalu kesemuanya berjumlah 1/10 dari jumlah satu lingkar malaikat yang mengelilingi Arsy. Jumlah lingkaran malaikat yang mengelilingi Arsy ada 100.000 lingkaran, dimana jarak antara lingkaran yang satu dengan lingkaran yang lain sangatlah jauh, lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi. Dan jumlah malaikat yang berada di 100.000 lingkaran itu adalah jumlah yang sangat sedikit -ibarat setetes dari luasnya lautan- apabila dibandingkan dengan malaikat-malaikat yang mengangkat ‘Arsy Allah Swt”.

Allah berfirman,

وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ

Tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (QS. Al-Muddatsir: 31).

Setelah Allah menciptakan manusia dan jin, Allah mengutus para rasul dan nabi yang bertujuan untuk mendidik mereka. Dan pendidikan Allah adalah bentuk rahmat, kasih sayang, dan kebaikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya, dan bukan kewajiban yang harus dilakukan oleh-Nya. Oleh karena itu Allah mengatakan, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, maksudnya Allah Maha Ar-Rahmaan dengan nikmat penciptaan-Nya, dan Allah Maha Ar-Rahiim dengan sifat pemberian nikmat dan kerunia-Nya. Dua kenikmatan, dimana setiap makhluk membutuhkannya, yaitu ni’matul iijaad (nikmat dijadikan) dan ni’matul imdaad (nikmat diberi rezeki, agar keberadaan tetap lestari).

Atau juga bisa dikatakan bahwa Allah Maha Ar-Rahmaan di dunia dan akhirat, dan Maha Ar-Rahiim di akhirat, karena rahmat Allah di akhirat hanya khusus bagi orang-orang yang beriman. Atau bisa juga dikatakan bahwa Allah Maha Ar-Rahman dengan nikmat-nikmat-Nya yang besar, dan Allah Maha Ar-Rahiim dengan nikmat-nikmat yang kecil. Nikmat yang besar itu seperti: nikmat Islam, Iman, Ihsan, makrifat, terbukanya hijab, dan hidayah. Adapun nikmat yang kecil seperti: nikmat sehat, harta yang halal, dll.

Dan yang mampu menjadikan dan yang mampu memberi rezeki dan kenikmatan yang pantas menyandang gelar raja. Oleh karena itu Allah menyebut diri-Nya, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ , maksudnya Allah berhak melakukan apa saja atas hamba-hamba-Nya. Tidak ada yang bisa menolak keputusan Allah, dan tidak ada yang mencegah atas keinginan-Nya. Dialah rajanya semua raja, penguasa seluruh penguasa, di dunia dan di akhirat.

Ibnu Ajibah, Al-Bahrul Madiid

Kasih Sayang Allah Atas Hamba-Hamba-Nya

Allah berfirman di dalam Hadis qudsi,

أنَا الرَّحْمنُ، خَلَقْتُ الرَّحْم، وَشَقَقْتُ لَهَا اِسْمًا مِنْ إسْمِى، مَنْ يَصِلُهَا أَصِلُهُ، وَمَنْ أقْطَعَهُ فأبُّتُهُ

Aku adalah Ar-Rahmaan (Zat yang maha penyayang). Aku menciptakan rahim dan Aku menamakannya dengan salah satu nama dari nama-nama-Ku. Barangsiapa yang menyambung rahim (tali silaturrahim), maka Aku akan menyambungkan diri-Ku dengannya. Namun apabila ia memutuskannya maka Aku akan memutuskan dirinya dari diri-Ku. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud).

Allah Swt. menghendaki agar setiap hamba-Nya mengerti bahwa Ia adalah Zat yang menyayangi mereka. Ia telah melimpahkan rezeki-Nya dan senantiasa membukakan pintu-pintu taubat kepada hamba-hamba-Nya. Dialah tuhan yang maha ArRahmaan (Maha Penyayang) yang kasih sayangnya tiada terbatas.

Nama ‘rahim’ diambil dari nama Allah yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, yang berarti tempat tumbuhnya janin yang terletak di dalam perut ibu. Tempat dimana rezeki Allah langsung turun di dalamnya, dengan tanpa usaha dan kekuatan manusia. Di dalam rahim ini janin akan terus mengalami pertumbuhan, dimana Allah dengan keagungannya telah menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkannya.

Lihatlah bagaimana kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Ia senantiasa memaafkan kesalahan-kesalahan anaknya, dan ia sangat senang ketika anaknya kembali kepadanya. Allah Swt. adalah Zat yang Mahakasih yang kasihnya melebihi kasih ibu kepada anaknya. Ia tidak akan menyiksa kita karena dosa-dosa kita, dan Ia tidak akan mencegah kita dari nikmat-nikmat-Nya. Ia juga tidak akan membinasakan kita karena kesalahan-kesalahan kita. Oleh karena itu ketika akan membaca Al-Qur’an kita selalu mengawali dengan membaca bismillaahir rahmaanir rahiim (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang). Hal itu dimaksudkan agar kita senantiasa mengingat pintu-pintu rahmah (kasih sayang) yang selalu terbuka lebar untuk kita, sehingga kita akan mengangkat tangan setinggi-tingginya ke langit dengan berdoa ‘ya Allah berikanlah rahmat-Mu dan ampunilah segala dosa dan kesalahanku’.

Seorang Muslim yang mau membaca Al-Qur’an akan terus bersambung dengan rahmat Allah. Dan ketika ia merasa jauh dari Zat yang maha kasih ia akan mudah untuk segera kembali kepada-Nya. Selama Allah adalah Zat yang maha Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, maka selamanya Ia tidak akan menutup pintu rahmat-Nya untuk hamba-hamba-Nya.

Ketika engkau akan melakukan sesuatu dengan membaca bismillaah maka engkau telah mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang berhak untuk disembah. Ia memiliki perintah-perintah yang harus dilakukan dan larangan-larangan yang wajib dijauhi. Dan malulah kepada Allah jika engkau akan memulai perbuatan maksiat dengan membaca bismillaah. Namun, Allah tidak dendam kepada hamba-hamba-Nya dan Ia juga tidak akan berlepas tangan dari urusan mereka.

Apabila engkau telah melakukan maksiat kepada Allah di dalam pekerjaanmu, kembalilah kepada pekerjaanmu dan jangan lupa untuk membaca bismillah, karena Ia adalah Zat yang maha Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Ketahuilah bahwa ketika Allah menetapkan hukuman bagi pelaku maksiat maka itu berarti bahwa Allah mengizinkan maksiat itu terjadi.

Apabila engkau telah bermaksiat kepada Allah tetapi engkau malas untuk memulai pekerjaanmu dengan bismillaahir rahmaanir rahiim, maka selalu ingatlah bahwa Allah adalah Ar-Rahmaan (yang memiliki sifat sayang yang paling besar). Dan hadis qudsi di atas juga mengandung pelajaran dan perintah untuk melakukan silaturrahiim (menyambung tali kasih sayang), karena Allah adalah Zat yang Mahasayang dan belas kasihan kepada hamba-hamba-Nya.

Kita semua hidup dengan rahmat Allah Swt. Bahkan orang kafir juga hidup di atas bumi ini dengan rahmat Allah Swt. Manusia mengambil dan melakukan sebab-sebab keberlangsungan hidupnya dengan rahmat Allah Swt. Segala kenikmatan dan kebaikan yang datang kepada manusia adalah karena rahmat Allah Swt.

Seorang mukmin mendapatkan rezeki dengan rahmat-Nya, dan tentu Allah akan menambahkan baginya berkah dan ketenangan -karena ia seorang mukmin-. Rasa tenang dan tentram di dalam hati adalah nikmat yang sangat besar. Barangsiapa yang hidup di dunia ini dan ia merasa tenang dalam menggapai tujuan yang paling utama dari perjalanan ini maka itu adalah kenikmatan yang terbesar.

Allah berfirman,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya”. (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

Allah berkata tentang mereka,

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Mereka itulah yang mendapat shalawat (keberkatan yang sempurna dan rahmat) dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah [2]: 157).

Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 218).

Sesungguhnya dunia dan segala isinya ditundukkan dengan sifat Allah yang Maha Al-Qahhaar (menundukan). Ia memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja di alam semesta ini. Dialah satu-satunya Zat yang maha pencipta.

Tetapi apa itu rahmah (rahmat)?, rahmah adalah engkau tidak merasa sakit sejak awal. Hal ini berbeda dengan as-Syifa’ (sembuh), karena as-Syifa’ adalah pada awalnya engkau terkena musibah sakit dan pada akhirnya Allah menyembuhkanmu. Jadi rahmah adalah sama sekali tidak terkena penyakit sejak awal.

Allah Swt. mengetahui bahwa diantara hamba-hamba-Nya ada yang tidak bisa berlepas diri dari dosa. Dan apabila Allah benar-benar ingin menghisab kita dengan timbangan dan ukuran yang sebenarnya tentu kita akan sangat lelah. Oleh karena itu ketika bersama-sama dengan banyak orang saya senang berdoa dengan doa ini,

أَللَّهُمّ بِالْفَضْلِ لاَ بِالْعَدْلِ، وَبِالْإحْسَانِ لاَ بِالْمِيْزَانِ، وَبِالْجَبْرِ لاَ بِالْحِسَابِ

ya Allah! hisablah kami dengan kebaikan-Mu bukan dengan keadilan-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, dan bukan dengan timbangan-Mu yang melelahkan kami.

Rasulullah Saw. telah mengajarkan kepada kita bahwa untuk bisa masuk ke dalam surga tidak hanya dengan amalan saja, tetapi dengan taufik, rahmat, dan ampunan dari Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda,

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ الجَنّةَ بِعَمَلِهِ، فَقَالُوْا: وَلاَ أنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا حَتّى يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ

Allah tidak akan memasukkan salah seorang diantara kalian dengan amalnya. Para sahabat bertanya, “begitu pula dengan engkau wahai Rasulullah?”, rasul menjawab, “iya!, begitupula denganku, sampai Allah menyelimutiku dengan rahmat-Nya”. (HR. Bukhari, Muslim).

Oleh karena itu seorang mukmin adalah orang yang hanya berharap dan bergantung kepada Allah dan ia tidak pernah mengajukan syarat (baca: seolah-olah memaksa) kepada Allah Swt. Seorang mukmin akan melakukan seluruh amal ibadahnya ikhlas karena Allah, karena ia hanya mengharapkan rahmat dan ampunan dari-Nya. Dan apabila Allah berkenan menerima ibadah seorang mukmin dan berkehendak memasukkannya ke dalam surga, itu semua berkat karunia dan taufik-Nya.

Allah berfirman,

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya rahmat (kasih sayang), yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’aam [6]: 54).

Tidak ada seorangpun yang berhak mewajibkan sesuatu bagi Allah Swt, karena Allah adalah satu-satunya Zat yang menciptakan alam semesta dan tentu saja ia berhak secara mutlak untuk melakukan apa saja. Tidak ada yang boleh memaksa Allah untuk melakukan apapun, akan tetapi Allah yang menetapkan rahmat dan kasih sayang atas diri-Nya.

Allah berfirman,

أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

(Yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’aam [6]: 54).

Disyariatkannya taubat merupakan rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya yang telah melakukan dosa karena kebodohan dan kecerobohannya. Dan barangsiapa yang berbuat dosa kemudian segera bertaubat kepada Allah maka Allah akan menerima taubat mereka. Adapun orang yang tidak menyesali perbuatannya dan tidak segera bertaubat karena alasan bahwa mereka akan bertaubat nanti ketika ajal akan datang, taubat mereka tidak akan diterima. Sesungguhnya Allah tidak menerima taubat seorang hamba dalam kondisi sakaratul maut.

Allah berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “sesungguhnya saya bertaubat sekarang”, dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. An-Nisa’ [4]: 18).

Allah Swt. Maha At-Tawwaab (menerima taubat) dan Maha Ar-Rahiim (penyayang). Lafazh tawwaab adalah shighah mubaalaghah (bentuk kata dalam bahasa arab yang berarti berlebih-lebihan), yang berarti Allah berlebih-lebihan dalam menerima taubat hamba-Nya. Begitu pula dengan lafazh rahiim, yang berarti Allah berlebih-lebihan dalam kasih sayang-Nya. Namun hal ini bukan berarti bahwa sifat Allah terkadang lemah dan terkadang kuat, terkadang berlebih dan terkadang berkurang. Karena semua sifat-sifat Allah itu mutlak sempurna.

Shighah mubaalaghah dapat kita pahami bahwa hal itu besar atau diulang-ulang. Jika engkau mengatakan bahwa Allah tawwab (maha sangat menerima taubat) maka itu ditunjukkan bahwa Allah SWT mau menerima taubatnya orang ini, orang itu, dan menerima taubatnya jutaan manusia. Dan ini menunjukkan bahwa tindakan menerima taubat Allah itu berulang-ulang. Dan jika Allah menerima taubat dari dosa-dosa yang besar, bukankah ini adalah tindakan menerima taubat yang besar?!.

Allah Swt. adalah Zat yang maha menerima taubat dan maha penyayang. Dialah satu-satunya tuhan yang memiliki kemampuan menciptakan sesuatu. Dialah Allah yang menciptakan manusia, lalu membuat metode dan aturan yang harus dipatuhi. Ketika Allah menerima taubatnya orang-orang yang bermaksiat maka di waktu yang sama Ia juga mengasihi orang-orang yang tidak berbuat maksiat.

Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’ [4]: 16).

Jika Allah hanya mengatakan bahwa Ia hanya menerima taubat saja maka setiap kita akan melakuakan perbuatan dosa kemudian bertaubat, karena Allah hanya maha menerima taubat. Akan tetapi Allah juga mengatakan bahwa Ia maha rahiim (penyayang), hal ini berarti Allah menyayangi sebagian manusia, sehingga mereka tidak tergelincir ke dalam jurang kemaksiatan sejak awal. Dan ini menunjukkan bahwa mereka sedang mendapatkan rahmat (kasih sayang) Allah, karena rahmat tidak ada di dalam maksiat.

Ulama Besar Negara Mesir

Syekh Mutawalli As-Sya’rawi