Setiap bulan Ramadlan datang, kaum muslimin pasti disibukkan dengan permasalahan bilangan rekaat shalat tarawih. Ada kelompok Islam tertentu yang ingin sekali memaksa orang-orang awam agar mengikuti madzabnya. Sementara orang-orang awam tidak menemukan orang yang dapat menyelamatkan mereka dari kelompok ini.
Kelompok ini sangat gemar menyalahkan para ulama zaman dulu, juga mayoritas kaum muslimin. Mereka sering kali menuduh para imam dengan sebutan ahli bid’ah, fasiq, dan sebutan-sebutan buruk lainnya. Mereka suka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT. Mereka juga mengatakan tidak boleh hukumnya menambah rekaat shalat tarawih di malam bulan Ramadlan melebihi 8 rekaat.
Kata tarowih dalam tata bahasa arab berbentuk jama’. Sedangkan bentuk tunggalnya tarwihah. Ibnu Mandzur berkata, “dinamakan tarwihah karena orang-orang akan beristirahat setiap kali selesai melaksanakan shalat 4 rekaat”. Berdasarkan pegertian secara bahasa saja dapat dipahami bahwa shalat tarawih itu lebih dari 8 rekaat. Karena tarwiihah itu 4 rekaat, dan jika demikian maka tarowih bilangan rekaatnya minimal harus 12 -karena tarowih adalah bentuk jama’ dari kata tarwihah–.
Sesungguhnya pendapat yang benar menurut kesepakatan para ulama adalah bilangan rekaat shalat tarawih itu sejumlah 20 rekaat selain witir. Atau sejumlah 23 rekaat bersama dengan witirnya. Inilah pendapat yang masyhur dan dipakai dikalangan madzhab empat, Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Bahkan ada pendapat lain dari ulama madzhab Maliki yang mengatakan 36 rekaat.
Para ulama sama sekali tidak pernah mengetahui jika ada shalat tarawih yang memiliki jumlah 8 rekaat. Shalat tarawih dengan jumlah 8 rekaat adalah shalat tarawih yang dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini saja. Adapun sebab yang menjadikan hal itu adalah cara yang salah dalam memahami sunnah, dan ketidakmampuannya dalam menggabungkan beberapa hadits, serta ketidakpahamannya mengenai makna ijma’ sahabat dan ulama.
Mengenai shalat tarawih yang dilakukan sebanyak 8 rekaat, kelompok ini mendasarkan pendapat mereka pada hadits Sayyidah Aisyah rodliyallahu ‘anha. Sayyidah Aisyah rodliyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah menambah jumlah rekaat shalat malam di bulan Ramadlan dan di bulan lainnya melebihi 11 rekaat. Beliau melakukan shalat 4 rekaat, kemudian 4 rekaat, kemudian 3 rekaat”. (HR Bukhori, Muslim).
Hadits di atas hakekatnya menjelaskan perbuatan nabi Muhammad di dalam shalat malam secara umum. Hadist ini sama sekali tidak menerangkan tentang shalat tarawih. Pengertian shalat tarawih adalah shalat yang hanya khusus ada di bulan Ramadlan. Shalat tarawih merupakan sunnah nabi, namun pelakanannya mengikuti sunnah sayyidina Umar bin Khottob.
Maksudnya, bahwa kaum muslimin mengikuti sunnah yang diciptakan oleh sayyidina Umar. Beliau adalah orang pertama yang mengumpulkan manusia untuk sama-sama mendirikan shalat malam berjama’ah pada bulan Ramadlan di masjid -dengan bilangan jumlah rekaat yang sudah mereka sepakati-.
Nabi SAW bersabda, ‘alaikum bis sunnati wasunnati khulafaur rosyiidiin al mahdiyyin. ‘Adzdzu ‘alaihha bin nawajidz. (kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Maka bersandarlah kepada mereka!) (HR Ahmad, Turmudli).
Kelompok ini tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka telah melakukan sunnah Umar bin Khottob, sebab mereka melaksanakan shalat malam bulan Ramadlan secara berjama’ah di masjid dengan satu imam. Berjama’ah di masjid adalah perbuatan yang tidak dilakukan nabi Muhammad SAW di malam bulan Ramadlan.
Sebenarnya mereka mengikuti sunah Umar, akan tetapi mereka meninggalkan jumlah rekaat yang sudah disepakati bersama, lalu mereka mengatakan dengan perasaan bangga bahwa mereka telah melakukan sunah nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu kita akan berkata pada mereka, “jika kalian ingin melakukan sunah nabi, janganlah kalian melakukan sunnah yang dilakukan sayyidina Umar!. Shalatlah di rumah sebagaimana yang dilakukan nabi!”.
Adapun dalil yang menerangkan bahwa shalat tarawih adalah sunah yang diciptakan oleh sayyidina Umar, diriwayatkan dari Abdurrohman Abdul Qori’, ia berkata, “suatu malam di bulan Ramadlan, aku bersama dengan Umar bin Khotob masuk ke masjid. Di masjid itu kami menyaksikan banyak orang yang sedang shalat sendiri-sendiri. Lalu umar berkata, “aku punya ide, bagaimana jika mereka semua dikumpulkan menjadi satu dengan satu bacaan imam, sepertinya akan lebih baik.
Umarpun segera mengumpulkan mereka dan menyuruh Abi bin Ka’b agar ia menjadi imamnya. Di malam yang lain aku keluar lagi bersama dengan sayyidina Umar menuju masjid dan terlihat mereka tampak telah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah dengan satu imam. Sayyidina Umar rodliyallahu’anh kemudian berkata, “inilah nikmatnya bid’ah”. (HR al-Baihaqi, al-Bukhori).
Adapun dalil yang menerangkan jumlah rekaat shalat tarawih adalah riwayat Saib bin Yazid, ia berkata, “mereka melakukan shalat tarawih di bulan Ramadlan pada masa Umar sebanyak 20 rekaat. Pada masa Utsman ketika sedang shalat, banyak dari mereka yang bersandar dengan tongkat karena lamanya bacaan shalat”. (HR al-Baihaqi dan Malik). Diriwayatkan dari Yazin bin Rumman, “bahwasanya kaum muslimin pada masa Umar menghidupkan malam bulan Romadlon sebanyak 23 rekaat”. (HR al-Baihaqi dan Malik).
Madzhab empat telah bersepakat mengenai hal ini. Seorang ulama madzhab Hanafi -Imam as-Sarkhosi- mengatakan bahwa jumlah rekaat shalat tarawih itu sebanyak 20 rekaat selain witir. Sedangkan Malik mengatakan bahwa yang disunahkan adalah 36 rekaat. (diambil dari kitab al-mabshuuth). Imam Ibnu ‘Abidin mengatakan bahwa shalat tarawih itu sebanyak 20 rekaat. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama timur dan barat. (badaa’i as-shonaa’i’).
Sementara ulama madzhab Maliki -Imam Dardiri- mengatakan bahwa shalat tarawih itu sebanyak 20 rekaat dan dilakukan setelah shalat isya’. Caranya dengan melakukan salam setiap dua rekaat dan membaca 1 juz di setiap malam pada bulan Ramadlan yang dibagi pada tiap-tiap rekaatnya. (roddul mukhtar ‘alad duuril mukhtaar).
Adapun mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa shalat tarawih itu sejumlah 20 rekaat. Imam Nawawi mengatakan, “madzhab kami melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rekaat dengan 10 kali salaman dan 5 kali istirahat, karena tarwihah (istirahat) itu dilakukan setiap 4 rekaat. Ini adalah pendapat madzhab kami yang juga dianut oleh Abu Hanifah dan teman-temannya seperti Ahmad, Dawud, dan lain-lain”.
Diriwayatkan bahwa al-Aswad bin Yazid melakukan shalat tarawih sebanyak 40 rekaat dan melakukan shalat witir sebanyak 7 rekaat. Imam Malik berkata, “shalat tarawih itu sebanyak 9 kali istirahat, karena shalat tarawih itu sebanyak 36 kali. Pendapat ini didasarkan pada perbuatan yang dilakukan oleh penduduk Madinah. (al-majmu’, Imam Nawawi)
Para ulama madzhab Syafi’i berusaha untuk menggabungkan antara madzhab jumhur (mayoritas) ulama dengan madhab Maliki. Mereka mengatakan, “menurut imam Malik penambahan rekaat tarawih dilakukan dengan tujuan mengganti thowaf di masjidil harom. Ibnu Hajar mengatakan bahwa bagi selain penduduk madinah hendaknya melakukan shalat tarawih sebanyak 20 rekaat sebagaimana yang telah dipraktekkan pada masa Umar rodliyaallahu ‘anh. (tuhftul muhtaj).
Sementara dari madzhab Hambali, para ulamanya telah berpendapat bahwa shalat tarawih itu sebanyak 20 rekaat. Ibnu Qudamah al-Muqoddasi mengatakan bahwa yang dipilih menurut imam Ahmad adalah shalat tarawih sebanyak 20 rekaat. Dan ini juga dikatakan oleh ats-Tsauri, Abu Hanifah, dan as-Syafi’i. (al-mughni).
Bahkan Ibnu Taimiyyah yang banyak dijadikan rujukan oleh kelompok itu juga mengatakan bahwa shalat tarawih dilakukan sebanyak 20 rekaaat dan witir sebanyak 3 rekaat. Inilah praktek shalat tarawih yang dilakukan oleh sahabat Muhajirin dan Anshor dan sama sekali tidak ada orang yang menentangnya. (al- fatawa al-kubro).
Dari penjelasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa dalam masalah ini, umat Islam harus berpegang pada madzhab empat. Para ulama di seluruh dunia dari zaman dahulu sampai sekarang telah melakukan praktek shalat tarawih sebanyak 20 rekaat. Dan hukum shalat tarawih adalah sunnah mukkad, bukan wajib.
Barang siapa yang meninggalkan shalat tarawih, ia telah tertolak dari pahala yang besar. Dan siapa yang ingin menambah jumlah rekaat, tidak ada dosa baginya. Dan barang siapa yang mengurangi jumlah rekaat, juga tidak ada dosa. Akan tetapi ia hanya sedang melakukan qiyaamul lail (shalat malam) yang berbeda dengan shalat tarawih. Wallahu ta’ala a’lawa wa a’lam.
Syekh Ali Jum’ah, Al-Bayan